Selalu ada rasa waswas setiap menonton film yang diadaptasi
dari buku. Pengambarannya suka berbeda dengan imajinasi yang sudah menempel
saat baca buku. Makanya saya suka enggak terlalu antusias nonton film yang
diadaptasi dari buku, terutama kalau bukunya saya suka banget. Filosofi Kopi
termasuk antologi yang saya suka. Isinya padat dengan tema bervariasi. Ketika
Filosofi Kopi dibuat saya enggak terlalu antusias. Bahkan enggak nonton. Takut
kecewa. Walau adik sepupu saya bilang filmnya bagus ( dia pun sampai
bela-belain nongkrong di Kedai Filosofi
Kopi setelah itu) tapi dia belum baca bukunya. Nah! Saya akhirnya memberanikan diri menonton Filosofi Kopi 2: Ben & Jody Kangen udah lama gak nonton film layar lebar.
Film dibuka dengan pemandangan Indonesia yang indah dan
serba hijau. VW combi kuning yang berpindah-pindah tempat menjajakan kopi yang
diracik secara special oleh Ben (Chicco Jerikho) dibantu oleh tiga pegawainya.
Setelah satu pengawai mengundurkan diri karena hamil dan disusul oleh dua baristanya,
Ben dan Jody (Rio Dewanto) memutuskan kembali ke Jakarta dan membuka kedai
Filosofi Kopi.
Bukan usaha yang mudah karena butuh modal lebih banyak dan
mereka harus mulai dari nol. Untunglah datang seorang investor, Tarra (Luna
Maya) yang mau menanamkan modalnya dan membeli saham Filosofi kopi sebesar
49%. Sebagai penggemar Filosofi Kopi,
Tarra ingin membangun kembali kepopuleran kedai ini. Jadilah Filosofi Kopi
dibuka kembali. Jody merekrut salah satu
barista cewek bernama Brie (Nadine Alexandra) yang selalu berantem dengan Ben
karena punya cara menyeduh kopi yang berbeda dengan dirinya. Gara-gara cara meracik Brie ini Filosofi Kopi mendapat review yang
buruk di dunia maya.
Karena dapat review yang buruk ini juga, Tarra mengusulkan mereka harus segera membuka cabang baru di Yogyakarta. Usul ini ditolak oleh Jody yang kebagian mengurus bisnis dan keuangan tapi Ben dan Tarra tetap pergi ke
Yogyakarta. Mereka berdua mengurus persiapan pembukaan cabang di sana. Saat proses persiapan ini Ben mendapat berita kalau ayahnya meninggal.
Di sini konflik muncul. Ben yang melihat bagaimana ayahnya jatuh bangun akibat masalah perkebunan sawit di Lampung, baru sadar ternyata Tarra memiliki hubungan erat dengan perusahaan perkebunan sawit. Ben marah besar dan dia enggak mau bertemu dengan Tarra. Bahkan mengancam akan membeli kembali semua saham yang sudah dimiliki oleh Jody dan Tarra.
Film garapan sutradara Angga Dwimas Sasongko
menyenangkan dan menghibur. Sebagai orang yang belum pernah menonton film yang pertama, jalan ceritanya mudah dimengerti dan masih bisa dinikmati. Karakter Ben & Jody sama dengan karakter yang ada di buku. Dan bagi seorang yang tidak suka kopi, proses
membuat kopinya di film ini digambarkan sangat detil membuat saya jadi ngiler. (Cuma saat nonton, lho 😛) Walau porsi menyebutkan ‘filosofi kopi’ dalam setiap dialog
terlalu banyak dan enggak terlalu perlu. Karena semua orang sudah tahu cerita
ini tentang membangun sebuah kedai kopi
dengan cinta dan segala filosofi di dalamnya.
Kekuatan film ini memang ada pada chemistry antara Rio dan
Chicco. Tokoh lain bisa dimainkan oleh siapa saja, tapi cuma mereka berdua yang bisa jadi Ben dan
Jody. Ini yang membuat film ini hidup. Walau saya pribadi enggak terlalu suka dengan
karakter Ben yang begitu meletup-letup. Kan ceritanya udah lama bersahabat ya. Udah keliling bersama-sama selama dua tahun. Masak bisa tega gitu sama sahabatnya sendiri. Tega kenapa? Ya nonton aja ya.😃
Konfliknya lumayan menyentuh. Apalagi kalau melihat gimana
Ben begitu terpukul atas kematian ayahnya. Begitu juga twist percintaan yang ada. 'Siapa
jadian dengan siapanya’ bikin kecele. He he he.
Secara setting, film ini pun enggak bombastis. Pemandangan
Jakarta sederhana tapi tetap terlihat
urban. Enggak pake gambar Monas atau patung selamat datang yang diambil dari
atas. Atau kota Yogyakarta, Makasar dan
Toraja, termasuk perkebunan kopinya. Memberikan nuansa Indonesia yang lain.
Okay, mungkin saya perlu menonton Filosofi Kopi pertama. 😁😁